Keadilan restoratif dalam musibah mushalla Ponpes Al-Khoziny

Update: 2025-10-13 02:50 GMT

Tim INAFIS bersama Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim memasang garis polisi untuk melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) bangunan mushala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (9/10/2025). Polda Jawa Timur akan menyelidiki penyebab ambruknya mushala pada saat santri menunaikan shalat Asar, Senin (29/9) di Pondok Pesantren Al Khoziny. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/sgd

Restorative justice (keadilan restoratif) adalah aspek hukum yang paling mudah untuk menjelaskan bahwa penegakan hukum itu bukan hanya persoalan keadilan, namun di dalamnya juga ada kearifan.

Adalah pakar hukum tata negara Prof Mahfud MD yang menyoal keadilan dan kearifan dalam akun media sosial pada awal Oktober 2025, untuk menyikapi Musibah Runtuhnya mushalla di Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur (29/9/2025).

Pakar hukum dan mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Polhukam) yang juga santri itu tahu persis bahwa pesantren tidak dibangun dalam sekali jadi, sebab dananya berasal dari sumbangan yang tidak datang langsung utuh untuk satu bangunan.

Pengerjaan bangunan di pesantren bertahap, karena bantuannya juga bertahap. Terkadang hanya bisa untuk satu ruang atau kadang juga hanya cukup untuk satu lantai saja. Karena itu, maka proses pembangunan cenderung tidak ada perencanaan, kecuali kalau dibantu pemerintah dalam sekali jadi.

Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian tindak pidana yang mengutamakan pemulihan, bukan pembalasan, dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai perdamaian dan memulihkan kondisi semula.

Misalnya, pengguna/pengedar narkotika merupakan contoh yang mudah untuk menyodorkan pada dua pilihan, manakah yang efektif antara sanksi hukum atas kejahatannya atau sanksi rehabilitasi untuk proses penyadaran hingga penyembuhan dari ketergantungan?

Nah, sanksi rehabilitasi untuk kepentingan penyembuhan dari ketergantungan narkotika juga bisa menjadi pilihan polisi yang juga diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021, yang memungkinkan penyelesaian kasus pidana ringan melalui mekanisme musyawarah mufakat di antara para pihak yang berkepentingan.

Itulah keadilan restoratif yang melihat hukum bukan hanya penegakan keadilan, tapi juga menunjuk pada kearifan hukum, atau mementingkan pemulihan korban daripada penjara yang justru akan memperparah korban. Hal itu bukan berarti menghentikan proses hukum, tapi justru menghentikan kejahatan berkembang terus.

Upaya menghentikan kejahatan melalui kearifan dalam hukum itu bukan tanpa alasan, namun hal itu karena menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan masyarakat majemuk dari beragam suku, ras, agama, budaya, serta strata sosial (tradisional atau modern).

Tentu saja, kemajemukan ini butuh dikelola dengan baik untuk terwujudnya kondisi hidup yang tenteram, damai, dan harmonis. Menurut pakar ilmu pemerintahan Prof M Mas’ud Said, MM, PhD, konflik sosial adalah suatu keniscayaan, apalagi di masyarakat majemuk.

Hukum pun harus dilihat dalam konteks kearifan, apalagi terkait dengan dukungan pesantren kepada republik ini dalam mendidik anak bangsa secara murah, bahkan pesantren juga banyak mencetak tokoh bangsa yang memiliki jasa besar, termasuk kemerdekaan adalah bagian dari kontribusi pesantren pada republik ini.

Artinya, keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang fokus pada tiga kepentingan, yakni memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh kejahatan (melibatkan korban), melihat pertanggungjawaban pelaku, dan mencegah terjadinya kerugian yang serupa di masa mendatang.

Dalam aspek kepolisian, keadilan restoratif itu sejalan dengan konsep COP community oriented policing (COP) dan POP problem oriented policing (POP). COP itu terkait kerja sama polisi-masyarakat untuk menumbuhkan kepercayaan, sedang POP itu terkait interaksi polisi-masyarakat untuk stabilitas. COP-POP ini mengedepankan peran Bhabinkamtibmas.

Era digital

Merujuk pada pendapat Prof M Mas’ud Said tentang konflik, perdamaian dan resolusinya, konflik itu tidak mungkin dihilangkan, kecuali dikelola dengan dua pilihan/cara untuk mewujudkan perdamaian, yakni keadilan (pendekatan hukum) atau kearifan (pendekatan demokratis untuk menghormati perbedaan/kemajemukan).

Masalahnya, era digital sangat mengedepankan logika/pemikiran dan viral-tidaknya (algoritma/kuantitas) daripada kearifan. Jadi warganet, saat ini hanya mengutamakan satu solusi, yakni keadilan atau penegakan hukum, sehingga siapapun yang tidak memihak pada keadilan/hukum akan dibidik dengan "peluru digital".

Padahal, apa yang logis itu belum tentu benar, karena era digital memungkinkan adanya framing, apalagi kemajuan teknologi digital memungkinkan adanya rekayasa foto, narasi, video, dan suara, sehingga foto yang benar juga bisa salah bila narasinya salah.

Misalnya, foto kebakaran hutan di gunung bisa benar jika diberi narasi kebakaran hutan, tapi bila di-share dengan diberi narasi gunung meletus, sehingga warganet bisa tertipu dengan telak, tapi merasa yakin bahwa itu benar.

Atau, logika tentang perbandingan antara Islam dan Pancasila yang disodorkan kelompok radikal di dunia digital dengan narasi bernada tanya: Benar mana Islam atau Pancasila?

Secara logika, warganet bisa memilih Islam, padahal pilihan itu mungkin benar, tapi logikanya tidak benar, karena Islam adalah agama yang seharusnya dibandingkan dengan sesama agama, bukan dengan ideologi. Ideologi seharusnya dibandingkan dengan sesama ideologi, seperti Pancasila dengan sekulerisme, komunisme, dan sebagainya.

Atau, video tentang program yang ditujukan dinas tertentu, maka video bisa dianggap benar, sehingga program pun diikuti, meski berbiaya besar, padahal bisa saja itu program abal-abal yang sengaja diviralkan untuk menipu pihak lain. Jadi, video itu belum tentu benar, meski gambar dalam video itu benar, tapi konten atau narasinya yang di-framing.

Artinya, konten yang logis atau viral di era digital itu belum tentu benar, kecuali hanya kuantitas (algoritma) atau jumlah yang banyak, namun kontennya bisa sekadar potongan narasi saja, yang kebenarannya belum pasti, tapi konten itu diviralkan hingga dianggap benar.

Oleh karena itu, faktor keadilan/hukum juga harus dilihat secara arif, sesuai lokalitas atau kondisi yang dikaitkan dengan konteks yang sebenarnya, agar mendapatkan kebenaran secara digital.

Guru Besar Sosiologi Unair Prof Bagong Suyanto yang menyoroti kemampuan masyarakat Surabaya menjaga harmoni di tengah perbedaan yang patut menjadi contoh di era digital, seperti contoh dari studi kasus harmoni antara etnis Madura dan Tionghoa di Kembang Jepun, Surabaya Utara.

Ia menceritakan pemilik toko Tionghoa dan pekerja Madura di Kembang Jepun hidup berdampingan dengan rukun. Orang Surabaya itu kalau misuh (memaki) justru tanda akrab.

Perbedaan justru dapat menjadi perekat sosial jika dikelola dengan sehat. Menghapus perbedaan itu mustahil dan justru berisiko menimbulkan sensitivitas baru yang rapuh. Yang sering "berkonflik" justru bisa langgeng, seperti rumah tangga. Tapi kalau kelihatan adem malah bisa pecah. Konflik tidak harus dihapus, tapi disalurkan dalam batas yang dapat ditoleransi.

Walhasil, musibah runtuhnya mushalla Pesantren Al-Khoziny agaknya perlu disikapi dengan kearifan ala keadilan restoratif, sehingga menekan polarisasi, karena kearifan bukan bermakna mengabaikan keadilan, sehingga perlu "dibidik" dengan media digital, namun kearifan adalah melihat perbedaan dalam konteks kemajemukan untuk perbaikan lebih maju, bukan lebih mempertajam polarisasi.

Similar News