Menjaga Industri Digital Indonesia: Aspirasi driver ojek online dalam bingkai kebijakan

Industri digital Indonesia kini menjadi penopang utama perekonomian nasional.

Update: 2025-10-29 15:20 GMT

Elshinta/ Awaluddin Marifatullah

Industri digital Indonesia kini menjadi penopang utama perekonomian nasional. Pemerintah memperkirakan, dalam lima tahun ke depan nilai ekonomi digital akan tumbuh empat kali lipat, mencapai USD 210–360 miliar atau sekitar Rp5.800 triliun.


Faktor pendorongnya sangat kuat: populasi besar, penetrasi internet luas, dukungan regulasi yang progresif, serta tumbuhnya startup lokal yang telah berstatus unicorn. Penelitian Prasasti menunjukkan bahwa sektor digital memiliki Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang lebih rendah dibanding sektor tradisional — artinya setiap rupiah investasi di sektor digital menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.


Salah satu tulang punggung ekonomi digital ialah layanan on-demand seperti ojek online, taksi online, dan kurir online. Ekosistem ini bukan sekadar menghubungkan pengemudi dan konsumen, tetapi juga menopang jutaan UMKM. Pada 2023, kontribusi ride-hailing terhadap PDB nasional mencapai Rp382,62 triliun (2% PDB), sekaligus menjadi bantalan lapangan kerja di tengah gelombang PHK sektor manufaktur.


Seiring tumbuhnya sektor ini, polemik soal besaran komisi aplikator terhadap driver kian mencuat. Pemerintah telah menetapkan batas maksimum komisi 20%, dengan kewajiban 5% dialokasikan untuk program kesejahteraan driver. 

Namun, di tengah pertumbuhan pesat sektor ini, masih muncul protes dari sebagian driver yang menyoroti besaran komisi.


Bagi mereka, kebijakan aplikator dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan pengemudi. Polemik ini penting dicermati, karena hanya dengan memahami aspirasi dan pengalaman para driver aktif, kita bisa menilai apakah isu yang kerap muncul di ruang publik tersebut benar mencerminkan kondisi riil.


Hasil Survei


Survei Tenggara Strategics yang dilakukan pada September 2025 terhadap 1.052 driver aktif di Jabodetabek menunjukkan hasil mengejutkan. Sebanyak 82% responden lebih memilih potongan komisi 20% dengan order tinggi, ketimbang potongan 10% dengan order sepi.


Dari mereka yang pernah mencoba platform dengan komisi lebih rendah, 85% menyatakan penghasilannya sama saja atau bahkan lebih rendah.


Menariknya, 85% driver tidak keberatan dengan status mereka sebagai “mitra”, karena fleksibilitas jam kerja dinilai jauh lebih penting daripada status pekerja tetap.


Survei kedua dari Paramadina Public Policy Institute memperkuat temuan itu. Dengan melibatkan 1.623 responden di enam kota besar, sebanyak 60,8% driver juga memilih potongan 20% disertai promo dan insentif, dibanding 10% tanpa promo.


Lebih jauh, 81% responden mengaku lebih mengutamakan stabilitas pendapatan harian, bukan margin per order. Mereka juga menyadari potongan 20% digunakan aplikator untuk membiayai promosi, diskon pelanggan, hingga insentif bagi driver seperti voucher servis motor, paket data, dan sembako.


Kontribusi Raksasa bagi Ekonomi Digital


Layanan ride-hailing menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Pada 2023, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai Rp382,62 triliun atau sekitar 2% PDB nasional.


Sektor ini juga terbukti menyerap tenaga kerja di tengah gelombang PHK manufaktur, sekaligus menopang jutaan UMKM lewat layanan logistik dan pesan-antar.


Pemerintah sendiri menargetkan nilai ekonomi digital nasional akan mencapai USD 210–360 miliar (sekitar Rp5.800 triliun) dalam lima tahun ke depan, dengan ride-hailing sebagai salah satu kontributornya.


Antara Aplikator dan Regulasi


Meski demikian, isu kesejahteraan driver tetap muncul seiring tekanan biaya operasional dan persaingan ketat antar platform. Pemerintah sebelumnya telah menetapkan batas maksimum komisi 20%, dengan 5% di antaranya wajib dialokasikan untuk program kesejahteraan driver.


Namun, menurut Piter Abdullah, yang lebih penting kini adalah membangun ekosistem yang adil dan berkelanjutan, bukan sekadar mengatur angka potongan. Ia menilai, keseimbangan harus dijaga: aplikator menjaga transparansi, pemerintah memastikan regulasi yang adil, dan driver memahami perannya sebagai mitra mandiri.


Keseimbanganpun harus dijaga: aplikator menjaga transparansi, pemerintah memastikan regulasi yang adil, dan driver memahami perannya sebagai mitra mandiri.


Oleh: Piter Abdullah Redjalam, Ekonom Senior Prasasti


(Awaluddin Marifatullah)

Similar News