Ahli MKD: Manipulasi dan disinformasi jadi akar kesalahpahaman terhadap Ahmad Sahroni

Ahli MKD tegaskan ucapan Ahmad Sahroni bukan penghinaan. Gelombang opini negatif diduga kuat akibat disinformasi dan manipulasi narasi di media sosial.

Update: 2025-11-03 10:44 GMT

Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI kembali digelar dengan agenda “Permintaan Keterangan Saksi dan Pendapat Ahli”. Dalam sidang tersebut, ahli Sosiologi Dr. Drs. Trubus Rahardiansyah, memberikan pandangan terkait pernyataan Ahmad Sahroni yang sempat viral dan menimbulkan polemik di ruang publik.

Menjawab pertanyaan hakim MKD, Habiburokhman, Trubus menegaskan bahwa pernyataan Ahmad Sahroni harus dilihat dalam konteks situasi yang melatarbelakanginya. Ia menilai bahwa ucapan tersebut bukanlah bentuk penghinaan ataupun ujaran kebencian.

“Apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni itu merespons setting atau situasi yang melatarbelakanginya. Nah saya melihat apa yang disampaikan itu tidak menyinggung apa pun. Walaupun di situ ada kata tolol yang diviralkan, itu menurut saya lebih ke menyampaikan bahwa tidak mungkin DPR dibubarkan. Kita kan sistemnya bukan parlementer, tapi non-parlementer,” jelas Trubus di persidangan MKD DPR RI, Senin (3/11/2025).

Lebih lanjut, Trubus menyoroti banyaknya pihak yang sengaja menggiring opini publik keluar dari konteks aslinya melalui manipulasi informasi di media sosial.

“Ini kan sebenarnya arahnya ke sana. Tapi kemudian dipahami (berbeda) karena itu tadi, manipulasi. Makanya di pasal 35 UU ITE itu kan dilarang orang memanipulasi dan mengubah-ubah itu. Jadi apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan kriminal ataupun kebencian,” tambahnya.

Pandangan Trubus tersebut sejalan dengan kekhawatiran saksi ahli lainnya, Gustia Aju Dewi, pakar analisis perilaku, yang menilai bahwa saat ini potongan-potongan informasi digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.

“Zaman sekarang perang bukan lagi dengan senjata api, tapi senjatanya informasi yang diselewengkan, bisa dipotong. Jadi 90% kebenaran itu bukan kebenaran, karena ada 10% yang tidak dimasukkan sehingga informasi tersebut menjadi disinformasi,” ungkap Gustia Aju.

Gustia juga menegaskan bahwa para penyebar DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian) dapat dilacak dengan teknologi digital forensik, termasuk untuk mengetahui siapa yang pertama kali menggulirkan narasi manipulatif di media sosial.

“Siapa yang menggulirkan sampai sekarang belum terungkap. Sebenarnya dengan teknologi AI itu mudah dilakukan digital forensik, Yang Mulia, untuk ditelusuri siapa yang pertamakali mengeluarkan narasi-narasi DFK,” terangnya.

Pernyataan para ahli ini memperkuat posisi bahwa gelombang opini negatif terhadap DPR, termasuk terhadap Ahmad Sahroni, bukan muncul secara alami, melainkan merupakan hasil dari penggiringan opini dan disinformasi yang terstruktur di media sosial.
(Arie Dwi Prasetyo)

Tags:    

Similar News