Ikhtiar ESDM tekan impor BBM dan wujudkan swasembada energi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berhasil menjembatani negosiasi antara pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta dan Pertamina.
Ilustrasi pengisian Pertamax Green 95 dengan kandungan 5% Bioetanol (E5). (ANTARA).
Babak akhir polemik kuota impor bahan bakar minyak (BBM) mewarnai triwulan keempat 2025, dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berhasil menjembatani negosiasi antara pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta dan Pertamina.
“Kami mendapatkan info bahwa Vivo sudah mendekati (kesepakatan), BP-AKR 2 minggu lagi ada pesan lagi satu kargo 100 ribu (barel),” ucap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Laode Sulaeman, di Jakarta, Jumat (7/11).
Tambahan pemesanan BBM dilakukan oleh BP-AKR setelah membeli 100 ribu barel base fuel (bahan bakar murni) dari Pertamina Patra Niaga pada akhir Oktober 2025. Perlahan, RON 92 kembali tersedia di SPBU bercorak hijau tersebut.
Laode menyampaikan, terdapat kemungkinan pemerintah kembali menggunakan skema tambahan 10 persen dari kuota impor 2025 untuk badan usaha pengelola SPBU swasta pada 2026.
Saat ini, pemerintah sudah mendapatkan data kebutuhan impor BBM dari badan usaha swasta, namun belum menentukan besaran kuota yang akan diberikan.
“Kemungkinan seperti itu polanya. 100 plus 10 persen. Tapi kan referensi tahunnya, beda, kan. Kalau kemarin tahun 2024, sekarang tahun 2025,” ucap Laode.
Pulihnya ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap di SPBU swasta merupakan buah dari solusi yang ditawarkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tanpa menambah kuota impor untuk badan usaha swasta. Solusi yang ditawarkan adalah memberikan sebagian kuota impor milik Pertamina untuk digunakan oleh badan usaha swasta.
Ketika solusi tersebut dicetuskan, September 2025, Pertamina Patra Niaga masih memiliki sisa kuota impor sebesar 34 persen atau sekitar 7,52 juta kiloliter, yang cukup untuk memenuhi tambahan alokasi bagi SPBU swasta hingga Desember 2025 sebesar 571.748 kiloliter.
Tugas Kementerian ESDM, tutur Bahlil, adalah memastikan ketersediaan energi untuk negeri, sembari menjaga keseimbangan neraca perdagangan mengingat tingginya angka impor minyak apabila dibandingkan dengan produksi minyak nasional.
Data Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia masih mengimpor 330 juta barel minyak pada 2024, yang terdiri atas 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel bahan bakar minyak (BBM). Sedangkan, produksi minyak nasional pada 2024 berada di angka 212 juta barel.
Oleh karena itu, mengendalikan kuota impor BBM untuk badan usaha pengelola SPBU swasta saja tak cukup untuk mengurangi angka impor BBM. Ikhtiar memangkas impor BBM jenis bensin juga bisa diwujudkan dengan mendongkrak produksi minyak bumi atau menghadirkan alternatif, seperti menerapkan energi bersih untuk mengurangi ketergantungan terhadap fosil.
BBM bersih untuk swasembada energi
Bahlil mengakui, peningkatan produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri masih membutuhkan waktu, meskipun produksi minyak nasional pada tahun ini berhasil melampaui target APBN untuk kali pertama sejak 2008.
Hingga September 2025, produksi minyak berhasil mencapai 619 ribu barel per hari (bph) dibandingkan target APBN 2025 sebesar 605 ribu bph.
Eksplorasi potensi migas yang lebih agresif juga terus digencarkan melalui penawaran 75 blok migas oleh Kementerian ESDM dan skema baru gross split yang lebih berdaya saing untuk investor.
Walaupun demikian, Bahlil menegaskan perlunya terobosan lain guna mengikis kebutuhan impor BBM dan mewujudkan swasembada energi. Salah satunya melalui penerapan mandatori E10 atau kandungan etanol sebesar 10 persen dalam bensin pada 2027.
Penerapan E10 merupakan upaya Kementerian ESDM menciptakan sumber-sumber energi dari nabati dan membangun swasembada energi agar Indonesia bisa mengurangi impor bensin.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, komposisi pasokan bensin di Indonesia mencapai 36,64 juta kiloliter (KL) pada 2024. Dari total pasokan bensin tersebut, Indonesia mengimpor sebesar 22,8 juta KL bensin atau 62,23 persen.
Lebih lanjut, proyeksi pasokan bensin Indonesia pada 2025 berkisar di angka 37,3 juta KL, dengan 23,03 KL (63 persen) di antaranya hasil impor.
Apabila pemerintah tidak segera berinovasi, kebutuhan pasokan bensin diproyeksikan meningkat hingga 42,1 juta KL pada 2030, dengan angka impor yang turut naik menjadi 27,81 KL atau sekitar 66,10 persen dari pasokan bensin nasional.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bensin, Bahlil pun membuat peta jalan penerapan mandatori E10. Ia merujuk pada keberhasilan penerapan mandatori Biodiesel 40 (B40) dalam memangkas impor BBM jenis solar.
Catatan Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia berhasil menghemat devisa dengan pemanfaatan biodiesel tahun 2020–2025 sebesar 40,71 miliar dolar AS atau sekitar Rp676,74 triliun (kurs Rp16.623), karena penerapan biodiesel memangkas impor solar.
Keberhasilan tersebut menjadi landasan pemerintah mengeksekusi peta jalan mandatori bioetanol.
Indonesia menjalin kerja sama dengan Brasil untuk mereplikasi keberhasilan negara tersebut menerapkan E30. Bahlil mengirim tim ke negara tersebut guna bertukar pandangan dan saling belajar satu sama lain tentang penerapan mandatori bioetanol.
Kesiapan industri dalam negeri
Untuk menerapkan E10 pada 2027, dibutuhkan bahan baku etanol sebesar 1,4 juta KL. Bahlil mengupayakan agar kebutuhan akan etanol dapat dipenuhi oleh pabrik di dalam negeri tanpa harus bergantung kepada impor.
Oleh karena itu, Bahlil menekankan pentingnya pembangunan pabrik etanol, baik yang dihasilkan dari singkong, jagung, maupun tebu.
Pabrik etanol yang berbahan baku tebu kemungkinan besar akan dibangun di Merauke, Papua Selatan. Sedangkan, untuk lokasi pabrik etanol berbahan baku singkong masih dipetakan.
Guna menarik minat investor, pemerintah berencana memberi insentif bagi perusahaan yang membangun pabrik etanol di Indonesia.
Terkait keresahan penerapan E10 di Indonesia yang beriklim tropis, Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Ronny Purwadi PhD pun buka suara. Ronny membenarkan bahwa etanol memang bersifat higroskopis yang artinya bisa menyerap air.
Akan tetapi, higroskopis tak sama dengan korosif atau menyebabkan karat. Peneliti dengan fokus teknologi pengolahan biomassa dan pangan tersebut menjelaskan korosi hanya terjadi bila logam tidak dilapisi pelindung atau dibiarkan dalam kondisi lembab terus-menerus.
Ia mengacu kepada botol minum stainless steel yang menunjukkan kontak dengan air tak serta-merta menyebabkan karat.
Ronny justru menyoroti keuntungan lain penerapan E10, yakni rendahnya kandungan sulfur. Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq sempat menyampaikan mayoritas produk BBM di Indonesia memiliki kandungan sulfur sebesar 1.500 ppm (parts per million). Sedangkan, standar Euro V hanya membolehkan batas kandungan sulfur sebesar 50 ppm.
Untuk mengurangi kandungan sulfur tersebut, tutur Ronny, dibutuhkan pencampuran etanol. Senyawa etanol memiliki kadar sulfur yang sangat rendah, menghasilkan emisi CO2 yang rendah, serta tidak meninggalkan residu karbon padat.
Untuk membuktikan keamanan E10 terhadap kendaraan di iklim tropis, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi pun akan menggandeng industri otomotif untuk menguji penerapan E10.
Eniya juga menyampaikan kendaraan keluaran tahun 2000 ke atas telah memiliki spesifikasi mesin yang kompatibel dengan E10.
Langkah-langkah Kementerian ESDM, dari penetapan kuota impor BBM, peningkatan produksi minyak, hingga pengembangan energi bersih, merupakan ikhtiar untuk menekan impor BBM dan mewujudkan swasembada energi.
“Untuk Merah Putih, jangankan selangkah, sejengkal pun kita tidak boleh mundur dari tekanan mana pun!” kata Bahli, menteri yang berasal dari wilayah timur Indonesia itu, menyerukan semangat untuk mewujudkan swasembada energi.