Riset UNAIR ungkap perempuan nelayan masih terpinggirkan dalam data dan kebijakan
Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Tim Riset Bc adan Kerja Sama dan Manajemen Pengembangan (BKMP), bekerja sama dengan program INKLUSI (Kemitraan Australia–Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif), pada Rabu (10/9/2025) lalu menggelar diseminasi hasil penelitian bertajuk “Pemberdayaan Perempuan di Sektor Perikanan” di Kabupaten Pangandaran.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Tim Riset Bc adan Kerja Sama dan Manajemen Pengembangan (BKMP), bekerja sama dengan program INKLUSI (Kemitraan Australia–Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif), pada Rabu (10/9/2025) lalu menggelar diseminasi hasil penelitian bertajuk “Pemberdayaan Perempuan di Sektor Perikanan” di Kabupaten Pangandaran. Penelitian ini mengungkap bahwa perempuan nelayan masih menghadapi berbagai hambatan struktural—mulai dari rendahnya pengakuan resmi, minimnya akses terhadap bantuan produktif, hingga ketidakterlibatan dalam organisasi serta pengambilan keputusan.
Sektor perikanan merupakan tulang punggung ekonomi pesisir Indonesia. Selain mendukung ketahanan pangan, sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi daerah. Sepanjang 2024, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 2,59 persen atau sekitar Rp555 triliun (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2025). Di balik itu semua, perempuan berperan besar—dari mengolah hasil tangkapan, memasarkan produk, hingga mengelola keuangan rumah tangga. Sayangnya, peran ini masih kerap terpinggirkan dalam kebijakan dan pencatatan resmi.
Penelitian dilakukan di empat wilayah pesisir—Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Muna Barat (Sulawesi Tenggara), Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Mempawah (Kalimantan Barat). Penelitian melibatkan perempuan pekerja sektor perikanan dan didukung mitra organisasi masyarakat sipil, yakni ‘Aisyiyah, BAKTI-UDN, dan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga).
“Meski berperan besar dalam rantai nilai perikanan, mayoritas perempuan nelayan masih tercatat sebagai ‘ibu rumah tangga’ dalam dokumen resmi. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kenyataan dan sistem kebijakan,” ujar Rumayya, Peneliti BKMP UNAIR.
Potret Perempuan Nelayan: Bekerja, Tapi Tak Diakui
M Syaikh Rohman, peneliti lainnya, menuturkan bahwa mayoritas responden di Pangandaran merupakan perempuan usia produktif, rata-rata 46 tahun, dan 86,8 persen sudah menikah. Sebagian besar menjalankan peran ganda—mengurus rumah tangga sekaligus menopang ekonomi keluarga. Sekitar 14,8 persen bahkan menjadi kepala rumah tangga tunggal. Tingkat pendidikan mayoritas berhenti di jenjang dasar.
Sebagian besar perempuan di sektor perikanan Pangandaran terlibat di sektor hilir, seperti pengolahan dan penjualan hasil laut. Sekitar 18 persen yang melaut langsung, lebih tinggi dari keseluruhan sampel nasional (9 persen). Sekitar 53,2 persen menjalankan usaha sendiri, sisanya bekerja pada usaha orang lain atau sebagai buruh. Sumber pendapatan tertinggi berasal dari budidaya, diikuti pengolahan hasil laut, sementara aktivitas melaut memiliki risiko tinggi namun imbal hasil rendah.
Meskipun terlibat aktif secara ekonomi, akses terhadap bantuan pemerintah masih terbatas. Sebanyak 72 persen responden di Kabupaten Pangandaran mengaku menghadapi kendala dalam aktivitas perikanan, dan 72 persen diantaranya pernah mengalami kerugian. Namun, hanya 17 persen yang pernah menerima bantuan produktif dari pemerintah.
Forum diseminasi di berbagai wilayah menjadi ruang dialog antara peneliti, pemangku kebijakan daerah, dan komunitas nelayan. Para peserta menyampaikan apresiasi atas temuan ini karena membuka ruang diskusi baru mengenai pentingnya data dan pendekatan berbasis bukti dalam kebijakan pembangunan perikanan yang berpihak pada perempuan.
“Terima kasih atas paparan dari tim peneliti. Luar biasa, semoga akan membantu kami, masyarakat Pangandaran, untuk membangun daerah kami selanjutnya.” tutur Jeri Maulana, perwakilan Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Desa.
“Dengan adanya beberapa rekomendasi dari penelitian ini, dapat dijadikan referensi kami bahwa memang nelayan belum tersentuh kami (Dinas Ketenagakerjaan, red). Terima kasih, ada banyak rekomendasi yang bisa kami jadikan bahan untuk kebijakan kami berikutnya, terutama di ketenagakerjaan.” ujar Tatik Ika, perwakilan dari Dinas Ketenagakerjaan.
Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian riset pemberdayaan perempuan di sektor perikanan yang dilakukan oleh UNAIR bersama program INKLUSI dan mitra CSO. INKLUSI sendiri adalah kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia yang bertujuan memperkuat pembangunan inklusif bagi kelompok rentan, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas.
“Kami berharap hasil riset ini menjadi jembatan antara realitas perempuan nelayan dan ranah kebijakan. Banyak tindak lanjut yang diberikan oleh hadirin diseminasi pada sesi diskusi, yang nantinya akan ditelaah secara mendalam sebelum kami laporkan di tingkat nasional.” tutup tim Peneliti BKMP UNAIR.