BWI dorong literasi digital untuk tangkal disinformasi
BWI dorong literasi digital untuk tangkal disinformasi influencer di media sosial. Publik diminta kritis agar persatuan bangsa tetap terjaga.
Radio Elshinta/ Arie Dwi Prasetyo
Dunia media sosial di Indonesia sedang mengalami guncangan intensitas demokrasi. Salah satu yang mengemuka adalah disinformasi yang berseliweran yang justru mengancam disintegrasi berbangsa dan bernegara dalam persatuan nasional.
Hal-hal itu, yang menjadi perbincangan serius dalam Diskusi Publik bertajuk "Bahaya Disinformasi Influencer Bagi Persatuan Bangsa" yang digelar di Jakarta, Kamis (18/9/25).
Diskusi publik yang digelar Barisan Waras Indonesia (BWI) menghadirkan pembicara Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional Selamat Ginting, Pakar Komunikasi Digital Siska Fitriah, Praktisi Hukum Yamin Nasution dan Praktisi Siber Kreasi, Oktora Irahadi.
Menurut Juru Bicara BWI Muharram Yamlean mengatakan bahwa disinformasi yang disebarkan influencer bukan sekadar informasi keliru, melainkan justru menjadi ancaman nyata bagi persatuan bangsa.
"Dengan jangkauan dan pengaruh yang besar, konten menyesatkan dapat memecah belah masyarakat, menimbulkan kebencian dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara," kata Muharram
Karena itu, kata Muharram, masyarakat Indonesia harus bersama-sama kritis, cerdas memilah informasi dan tidak memberi ruang bagi disinformasi untuk merusak fondasi kebangsaan kita.
Selamat Ginting mengatakan bahwa hukum itu seperti bunglon dan dimanfaatkan sesuai dengan pemakainya. Contoh ujaran kebencian dan mendapatkan pengaruh banyak dalam bernegara.
"Sebagai influencer, dalam bersuara berhati-hati. Gunakan kebijaksanaan dalam bermedia sosial. Jangan sampai anda seperti masuk lumbung padi. Butuh kematangan dalam komunikasi publik," kata Selamat Ginting.
Dalam pandangan Ginting diakuinya bahwa komunikasi publik pemerintah buruk, baik di parlemen maupun di eksekutif. Sehingga menstimulan terjadi demo besar yang destruktif.
Praktisi hukum Yamin Nasution memberikan saran agar masyarakat harus mengedepankan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya tidak bisa dibenturkan.
"Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Hukum tidak boleh berpihak dan tempatkan hukum sebagai solusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," katanya.
Dalam diskusi itu, Oktora Irahadi mengingatkan agar setiap warga negara di Indonesia diharapkan untuk berpikir jernih dalam bermedsos. "Saya hanya ingin mengatakan agar kita hendaklah Saring terlebih dulu sebelum sharing," katanya.
Oktora mengingatkan, berkomunikasi dengan baik dan jelas di dunia digital. "Tidak ada orang yang memiliki kebenaran yang mutlak. Kalau kita tahu apa yang akan di pos berdampak destruktif maka jangan di pos," katanya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Digital Siska Fitriah memberi kata kunci agar siapapun yang sedang bermedsos harus berpikir positif untuk tujuan kemaslahatan dalam dunia media sosial.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Digital Siska Fitriah memberi kata kunci agar Influencer bukan hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga figur publik yang punya dampak besar terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat. Karena itu, etika dan tanggung jawab harus menjadi dasar setiap unggahan.
"Setiap informasi yang dibagikan sebaiknya diverifikasi, bernilai positif, dan tidak menyesatkan. Dengan begitu, influencer dapat berperan sebagai agen perubahan yang menguatkan literasi digital, menjaga harmoni sosial, serta membangun kepercayaan publik, bukan sebaliknya," kata Siska.
(Arie Dwi Prasetyo)