Menteri HAM nilai "bullying" hambat target Indonesia Emas 2045
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai tindakan perundungan atau bullying menghambat target Indonesia Emas 2045.
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai tindakan perundungan atau bullying menghambat target Indonesia Emas 2045.
Ia mengatakan pada periode 2024-2029, Indonesia sedang melakukan penguatan sumber daya manusia (SDM) untuk menuju visi Indonesia Emas.
"Jadi seharusnya di periode ini, SDM yang rusak diperbaiki, yang bagus dipertahankan," ujar Pigai dalam acara Kick Off dan Penetapan Kelurahan Manggarai sebagai Kampung Redam Pertama di Indonesia, Jakarta, Jumat.
Selanjutnya pada periode 2029-2034, kata dia, Indonesia melakukan akselerasi atau percepatan menuju visi Indonesia Emas, yang kemudian dilanjutkan pada 2035-2040 dengan memengaruhi kawasan.
Lalu pada 2045, Pigai menyampaikan Indonesia ditargetkan memimpin dunia dengan para pemimpin prominen yang lahir di Indonesia dan bermartabat, berkualitas, berpengetahuan unggul, serta memiliki keterampilan luar biasa dan perilaku baik.
"Jadi bullying itu sama saja, berlaku pada orang yang melakukan bullying atau membiarkan pelaku bullying di Indonesia adalah menghambat Indonesia Emas 2045," tuturnya.
Menurut dia, dengan adanya tindakan perundungan yang merendahkan, masyarakat Indonesia sudah mulai terlihat tidak memiliki adab.
Maka dari itu, dirinya mengaku telah memberikan waktu kepada pemerintah (kementerian terkait) dan swasta (lembaga pendidikan) agar segera mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan perundungan yang merendahkan martabat.
"Saya kasih waktu satu bulan, kalau mereka tidak menghadirkan simulasi untuk meniadakan bullying, maka Kementerian HAM akan menyusun draf, apakah peraturan pemerintah atau peraturan menteri," ucap Pigai.
Sebelumnya, Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia Kasandra Putranto menyoroti sejumlah faktor sebabkan kasus perundungan terutama di institusi pendidikan.
“Fenomena perundungan memang masih sulit dibasmi sepenuhnya di institusi pendidikan di Indonesia maupun di beberapa negara di dunia, karena sifatnya yang kompleks dan multifaktorial,” kata Kasandra kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (11/11).
Kasandra mengatakan dinamika sosial dan psikologis kerap menjadi faktor perundungan, seperti sering muncul dari perasaan iri, dendam atau keinginan untuk mendominasi dalam kelompok sosial anak atau remaja.
Menurut dia, kurangnya pemahaman dan normalisasi menjadi faktor penyebab perundungan, di mana kasus perundungan banyak diselesaikan dengan cara damai tanpa menyentuh akar permasalahan sehingga berpotensi terjadi lagi dan lagi, dan bertambah subur.
Dalam hal ini, lanjut Kasandra, masih ada guru, siswa, dan orang tua yang kerap salah mengartikan perundungan sebagai "candaan" atau "bagian dari masa remaja", sehingga tidak dianggap serius.
“Ini menciptakan budaya di mana perundungan dinormalisasi, terutama jika hanya verbal atau online, bukan fisik,” tutur dia.