KPK: Kampus harus jadi garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia
Kampus kini tidak lagi dipandang sekadar sebagai ruang akademik, melainkan sebagai titik awal yang paling strategis dalam upaya pemberantasan korupsi nasional.
Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.
Kampus kini tidak lagi dipandang sekadar sebagai ruang akademik, melainkan sebagai titik awal yang paling strategis dalam upaya pemberantasan korupsi nasional. Wakil Ketua KPK RI, Dr. Fitroh Rohcahyanto, menegaskan bahwa masa depan integritas bangsa sangat ditentukan oleh budaya yang dibangun di lingkungan pendidikan tinggi.
Fitroh menegaskan bahwa jika ruang akademik kehilangan integritasnya, maka pondasi kehidupan berbangsa pun ikut rapuh. Pernyataan ini ia sampaikan dalam Kuliah Umum Anti Korupsi yang digelar oleh KPK RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (8/12), di Gedung Djarnawi Hadikusumo E8 lantai 5, Kampus Terpadu UMY.
Data Indeks Integritas Pendidikan 2024 memperlihatkan skor 69,50, yang menandakan masih lemahnya budaya antikorupsi di dunia pendidikan Indonesia. Temuan Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 bahkan memerinci bahwa 58 persen mahasiswa mengaku pernah menyontek, 98 persen perguruan tinggi masih berhadapan dengan praktik ketidakjujuran akademik, dan 43 persen institusi pendidikan mencatat adanya kasus plagiarisme yang dilakukan oleh dosen.
Selain itu, 30 persen tenaga pendidik menganggap pemberian hadiah sebagai hal yang wajar, menunjukkan bahwa praktik gratifikasi telah dinormalisasi dalam relasi belajar-mengajar. Pada level nasional, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih berada di angka 37/100, sementara Indeks Perilaku Antikorupsi masyarakat berada pada skor 3,85/5.
Fitroh menilai rangkaian temuan tersebut menunjukkan bahwa dunia pendidikan berada pada titik kritis dalam upaya pemberantasan korupsi. “Yang kurang itu bukan ilmunya, tapi kesadaran untuk tidak melakukannya. Kita tahu salah, tapi masih dilakukan. Di sinilah peran kampus menjadi sangat penting,” tegasnya.
Menurut Fitroh, kampus memiliki empat peran strategis untuk memperbaiki kondisi tersebut. Selain menjadi pusat pembelajaran nilai-nilai antikorupsi, kampus juga berfungsi sebagai pusat riset, pusat gerakan antikorupsi, serta rumah bagi para ahli yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam penyusunan solusi dan kebijakan pemberantasan korupsi.
Ia menekankan bahwa perilaku koruptif tidak muncul tiba-tiba. Banyak kasus korupsi besar justru berakar dari kebiasaan kecil yang dibiarkan sejak masa kuliah, mulai dari menyontek, memanipulasi tugas, hingga keyakinan bahwa meraih pekerjaan atau jabatan harus menggunakan jalan pintas.
“Kalau sejak mahasiswa terbiasa mengambil jalan pintas, terbiasa menipu dosen, atau mengandalkan backing, maka ketika nanti memiliki jabatan, kebiasaan itu hanya akan membesar skalanya. Itu sebabnya integritas harus dimulai dari hal yang paling kecil,” jelasnya.
KPK juga menyoroti bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral bangsa. Dengan adanya bonus demografi, mahasiswa dinilai mampu menjadi agen perubahan yang dapat mempercepat penguatan budaya antikorupsi, asalkan kampus berani membangun sistem pendidikan yang tegas, transparan, dan konsisten dalam menegakkan integritas.
Upaya memperbaiki integritas bangsa tidak dapat hanya bertumpu pada penindakan hukum. Menurutnya, akar persoalan korupsi terletak pada budaya dan karakter yang terbentuk sejak dini. Ia menyebut Generasi Z sebagai “Great Generation” yang akan menentukan apakah masa depan Indonesia menjadi bangsa yang bersih atau justru sebaliknya, asalkan dibekali pemahaman integritas yang kuat.
Indonesia memiliki seluruh modal yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Secara geopolitik, Indonesia berada pada posisi strategis, memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, menyimpan 17 persen keanekaragaman hayati global, memiliki kekayaan mineral strategis seperti nikel dan bauksit, serta menampilkan kekuatan ekonomi yang terus berkembang.
“Indonesia punya segalanya, namun pertanyaannya adalah apakah kita punya integritas untuk mengelola semua itu? Karena pembangunan besar mustahil tercapai tanpa integritas besar,” tegasnya.
Menurut Fitroh, persoalan terbesar bangsa ini bukan terletak pada kurangnya kecerdasan, melainkan lemahnya kesadaran moral yang membuat perilaku koruptif terus berulang dari generasi ke generasi. Ia menegaskan bahwa integritas bukan sekadar konsep moral yang abstrak, tetapi keteguhan diri untuk menyatukan pikiran, ucapan, dan tindakan tanpa kepura-puraan.
Dalam konteks tersebut, perguruan tinggi disebut memegang peran strategis dalam membangun generasi berintegritas. Fitroh menilai kampus harus menjadi ruang yang membentuk karakter mahasiswa melalui tata kelola yang adil, transparan, dan bertanggung jawab. Ia menyoroti pentingnya penerapan Good University Governance sebagai fondasi kampus yang bersih dan bebas dari praktik manipulatif. Tata kelola yang baik bukan hanya menciptakan budaya akademik yang sehat, tetapi juga menjadi teladan langsung bagi mahasiswa.
“Kampus itu bukan hanya tempat belajar teori. Kampus adalah tempat membentuk karakter. Kalau kampus tidak transparan dan adil, bagaimana mahasiswa mau belajar integritas?” ujarnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Selasa (9/12).